cks2809
IndoForum Junior D
- No. Urut
- 7702
- Sejak
- 9 Okt 2006
- Pesan
- 2.030
- Nilai reaksi
- 104
- Poin
- 63
Elang Bondol, Maskot Jakarta di Pulau Kotok
Jakarta. Kompas. Sejak tahun 2006, Jakarta sudah memiliki bus Transjakarta. Cobalah perhatikan, gambar burung apa yang terdapat di bodi bus berwarna oranye itu? Ah..., kita mungkin teringat salah satu produk iklan sehingga dengan cepat langsung menjawab: burung garuda!
Nah lho, salah kan! Padahal, gambar sebenarnya adalah burung elang bondol (Haliastur indus). Lantas, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta malah menetapkan burung elang bondol sebagai maskot kota metropolitan ini.
Tentu, bagi kalangan masyarakat biasa, gambar burung elang tersebut memang terkesan sangat asing. Begitu asingnya, sampai-sampai jarang sekali ada yang mengetahui bahwa keberadaan burung elang bondol itu sangat dilindungi oleh negara.
Untunglah, keberadaan elang bondol itu masih mendapat tempat di Pusat Penyelamatan Satwa Tegal Alur, Jakarta Barat. Namun, jangan salah, elang bondol-elang bondol yang siap dikembalikan ke habitat alamnya justru dipersiapkan terlebih dahulu di Pulau Kotok, Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu. Pesona elang bondol menjadi pemandangan tersendiri dalam perjalanan wisata bahari.
Harus diakui, elang bondol- elang bondol itu merupakan hasil sitaan yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan bekerja sama dengan Pusat Penyelamatan Satwa Tegal Alur. Elang bondol merupakan burung pemangsa yang tersebar di seluruh Indonesia.
Elang bondol dapat terlihat terbang sendirian atau berada dalam kelompoknya. Dia kerap berputar-putar di angkasa, berburu mencari mangsa, seperti ikan, mamalia kecil, reptil, dan katak, di daratan dan perairan. Burung pemangsa ini mampu terbang bebas mencapai ketinggian 3.000 meter di atas permukaan.
Ukuran tubuhnya mencapai 45 sentimeter dengan kekhasan warna putih di bagian kepala hingga leher. Kedua sayap hingga ekornya berwarna coklat. Kedua kakinya yang dilengkapi kuku sangat tajam mampu mencengkeram ikan-ikan yang sedang berenang di permukaan laut.
Perdagangan Elang Bondol
Sekarang ini, maraknya perdagangan ilegal satwa-satwa dilindungi dan rusaknya habitat menyebabkan elang bondol terancam punah. Sungguh mengenaskan!
Padahal, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem menegaskan, "Setiap orang dilarang untuk menangkap, melukai, membunuh, memiliki, memelihara, memperniagakan, menyimpan satwa liar yang dilindungi baik hidup, mati atau bagian tubuhnya." Sanksinya, ancaman hukuman penjara 5 (lima) tahun dan denda Rp 100 juta.
Ancaman kepunahan itu membuat jajaran Pusat Penyelamat Satwa terdorong untuk menyelamatkan maskot Jakarta itu. Hingga kini, selain di Pulau Kotok, Pusat Penyelamatan Satwa sedang menangani dua ekor di Jakarta Barat dan 10 ekor di Sukabumi. Seorang dokter hewan Femke den Haas dari Belanda sudah bolak-balik merawat elang bondol-elang bondol itu di Pulau Kotok.
Menurut Femke, didampingi dokter hewan Karmele Llano dari Spanyol, maskot Jakarta harusnya betul-betul diselamatkan. Di Pulau Kotok ini, Pusat Penyelamatan Satwa sedang memulihkan 13 ekor elang bondol. Kelak, tubuh elang- elang ini akan dilengkapi gelang dan microchip sehingga semua elang ini dapat dipantau sewaktu dikembalikan ke habitatnya.
"Terus terang saya sedih. Sewaktu disita, kondisi burung- burung elang itu sudah sangat mengenaskan," kata Femke.
Mengapa? Pedagang atau pemilik biasanya sudah melukai bagian-bagian tubuh tertentu sehingga burung elang itu mengalami kesulitan terbang. Bahkan, ada juga yang tulang sayapnya dipatahkan.
"Kalau sudah terluka, tentu membutuhkan penanganan medis secara kontinu," ujar Femke, yang begitu fasih berbahasa Indonesia, ketika ditemui di Pulau Kotok.
Sejauh pengamatan, sebelum dikembalikan ke habitatnya, elang tersebut dipelihara di sebuah kandang bambu berukuran sekitar 30 x 20 meter, dengan ketinggian sekitar 20 meter. Kandang itu dibangun di pesisir pantai, bahkan sebagian besar lantainya terendam air laut.
Kandang tersebut ditutup dengan jaring yang sangat rapat. Bagian bawahnya juga ditutup rapat agar biawak tidak menyantap makanan elang itu.
Ke-13 burung elang itu dilepas di dalam kandang tersebut. Sementara petugas dari Pusat Penyelamatan Satwa bertugas mencari ikan untuk makanan burung elang tersebut.
"Begitu lamanya dimanja oleh manusia, terkadang ada juga beberapa ekor elang yang harus disuapin atau didekatkan makanannya," kata Femke.
Elang bondol dijadikan maskot Jakarta, tetapi yang merawat dan menyayangi justru orang Belanda.
Sumber: kompas

Jakarta. Kompas. Sejak tahun 2006, Jakarta sudah memiliki bus Transjakarta. Cobalah perhatikan, gambar burung apa yang terdapat di bodi bus berwarna oranye itu? Ah..., kita mungkin teringat salah satu produk iklan sehingga dengan cepat langsung menjawab: burung garuda!
Nah lho, salah kan! Padahal, gambar sebenarnya adalah burung elang bondol (Haliastur indus). Lantas, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta malah menetapkan burung elang bondol sebagai maskot kota metropolitan ini.
Tentu, bagi kalangan masyarakat biasa, gambar burung elang tersebut memang terkesan sangat asing. Begitu asingnya, sampai-sampai jarang sekali ada yang mengetahui bahwa keberadaan burung elang bondol itu sangat dilindungi oleh negara.
Untunglah, keberadaan elang bondol itu masih mendapat tempat di Pusat Penyelamatan Satwa Tegal Alur, Jakarta Barat. Namun, jangan salah, elang bondol-elang bondol yang siap dikembalikan ke habitat alamnya justru dipersiapkan terlebih dahulu di Pulau Kotok, Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu. Pesona elang bondol menjadi pemandangan tersendiri dalam perjalanan wisata bahari.
Harus diakui, elang bondol- elang bondol itu merupakan hasil sitaan yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan bekerja sama dengan Pusat Penyelamatan Satwa Tegal Alur. Elang bondol merupakan burung pemangsa yang tersebar di seluruh Indonesia.
Elang bondol dapat terlihat terbang sendirian atau berada dalam kelompoknya. Dia kerap berputar-putar di angkasa, berburu mencari mangsa, seperti ikan, mamalia kecil, reptil, dan katak, di daratan dan perairan. Burung pemangsa ini mampu terbang bebas mencapai ketinggian 3.000 meter di atas permukaan.
Ukuran tubuhnya mencapai 45 sentimeter dengan kekhasan warna putih di bagian kepala hingga leher. Kedua sayap hingga ekornya berwarna coklat. Kedua kakinya yang dilengkapi kuku sangat tajam mampu mencengkeram ikan-ikan yang sedang berenang di permukaan laut.
Perdagangan Elang Bondol
Sekarang ini, maraknya perdagangan ilegal satwa-satwa dilindungi dan rusaknya habitat menyebabkan elang bondol terancam punah. Sungguh mengenaskan!
Padahal, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem menegaskan, "Setiap orang dilarang untuk menangkap, melukai, membunuh, memiliki, memelihara, memperniagakan, menyimpan satwa liar yang dilindungi baik hidup, mati atau bagian tubuhnya." Sanksinya, ancaman hukuman penjara 5 (lima) tahun dan denda Rp 100 juta.
Ancaman kepunahan itu membuat jajaran Pusat Penyelamat Satwa terdorong untuk menyelamatkan maskot Jakarta itu. Hingga kini, selain di Pulau Kotok, Pusat Penyelamatan Satwa sedang menangani dua ekor di Jakarta Barat dan 10 ekor di Sukabumi. Seorang dokter hewan Femke den Haas dari Belanda sudah bolak-balik merawat elang bondol-elang bondol itu di Pulau Kotok.
Menurut Femke, didampingi dokter hewan Karmele Llano dari Spanyol, maskot Jakarta harusnya betul-betul diselamatkan. Di Pulau Kotok ini, Pusat Penyelamatan Satwa sedang memulihkan 13 ekor elang bondol. Kelak, tubuh elang- elang ini akan dilengkapi gelang dan microchip sehingga semua elang ini dapat dipantau sewaktu dikembalikan ke habitatnya.
"Terus terang saya sedih. Sewaktu disita, kondisi burung- burung elang itu sudah sangat mengenaskan," kata Femke.
Mengapa? Pedagang atau pemilik biasanya sudah melukai bagian-bagian tubuh tertentu sehingga burung elang itu mengalami kesulitan terbang. Bahkan, ada juga yang tulang sayapnya dipatahkan.
"Kalau sudah terluka, tentu membutuhkan penanganan medis secara kontinu," ujar Femke, yang begitu fasih berbahasa Indonesia, ketika ditemui di Pulau Kotok.
Sejauh pengamatan, sebelum dikembalikan ke habitatnya, elang tersebut dipelihara di sebuah kandang bambu berukuran sekitar 30 x 20 meter, dengan ketinggian sekitar 20 meter. Kandang itu dibangun di pesisir pantai, bahkan sebagian besar lantainya terendam air laut.
Kandang tersebut ditutup dengan jaring yang sangat rapat. Bagian bawahnya juga ditutup rapat agar biawak tidak menyantap makanan elang itu.
Ke-13 burung elang itu dilepas di dalam kandang tersebut. Sementara petugas dari Pusat Penyelamatan Satwa bertugas mencari ikan untuk makanan burung elang tersebut.
"Begitu lamanya dimanja oleh manusia, terkadang ada juga beberapa ekor elang yang harus disuapin atau didekatkan makanannya," kata Femke.
Elang bondol dijadikan maskot Jakarta, tetapi yang merawat dan menyayangi justru orang Belanda.
Sumber: kompas