Ajido-Marujido
IndoForum VIP: The Special One
- No. Urut
- 10016
- Sejak
- 31 Des 2006
- Pesan
- 4.812
- Nilai reaksi
- 145
- Poin
- 63
Jangan coba-coba lagi menyalakan handphone atau alat elektronik lain yang bisa mengganggu navigasi penerbangan. Kalau bandel dan masih cas-cis-cus ketika pesawat akan lepas landas atau mendarat, dan selama penerbangan, anda bisa dipenjara maksimal dua tahun atau kena denda Rp 200 juta.
Begitulah penjelasan Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal tentang salah satu sanksi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yang hari ini diteken oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Setelah membaca berita itu, saya jadi teringat lagi perdebatan lama mengenai keselamatan penerbangan dan penggunaan handphone di dalam pesawat. Benarkah sinyal handphone mengganggu sistem navigasi? Benarkah gelombang radio yang dipancarkan telepon genggam akan membuat pesawat jatuh?
Terus terang saya ndak punya jawaban sahih atas pertanyaan itu. Saya belum pernah membaca satu kesimpulan final mengenai perdebatan itu.
Memang ada beberapa kalangan yang berteori, ada juga yang pernah mencoba membuktikannya. Bahkan sempat beredar email berantai yang menyodorkan data dari Aviation Safety Reporting System mengenai bahaya pemakaian HP di pesawat. Tapi tak ada satu pun yang tak menyisakan tanda tanya.
National Geographic Channel memang pernah menayangkan simulasi penggunaan handphone di pesawat, dan baik-baik saja. Artinya, pesawat tak jatuh. Tapi, seorang pilot penguji NASA mengatakan, masalah baru timbul jika semua penumpang menyalakan telepon genggamnya.
Apa boleh buat, sampai sekarang saya masih berada di ambang batas antara percaya dan tidak. Saya bukan ilmuwan atau pakar ini dan itu. Barangkali seorang pakar telematika yang masyhur itu bisa menjelaskannya lebih baik.
“Buat saya, ini bukan masalah teknologi dan keselamatan belaka, Mas. Ini juga soal kenyamanan dan etika,” kata Mister Koper — teman saya yang kerap bawa koper dan naik pesawat itu.
Dia ikut melempar pendapat setelah kami membicarakan berita tentang undang-undang baru itu.
“Maksud anda?” saya bertanya.
“Lah penumpang pesawat yang masih cas-cis-cus di kabin itu kan mengganggu kenikmatan saya duduk selama penerbangan. Menyebalkan sekali kalau ada orang yang duduk di sebelah dan berisik, nyerocos ndak keruan dengan orang lain.
Berarti dia lebih suka mengajak ngobrol kotak kecil ketimbang dengan saya. Itu sama saja dengan menganggap saya tidak ada. Berarti dia menilai saya bukan orang yang layak diajak ngobrol, bertukar kata dan pikiran. Jelas saya merasa tak dihargai dan dilecehkan. Ini ndak etis, Mas,” kata Mister Koper teman saya itu.
Saya manggut-manggut mencoba memahami kekesalan hatinya. Saya sendiri memang belum pernah menyalakan HP sewaktu di dalam pesawat.
Selain ndak merasa ada gunanya, saya perlu sesekali mengambil jarak dengan alat itu. Ada kalanya kita tak usah mendengar ia berdering, mengabarkan kedatangan sebuah pesan pendek atau panggilan dari kawan, kerabat, atau pacar yang merindukan kabar kita sesaat sebelum pesawat lepas landas. Toh hidup jalan terus tanpa handphone yang selalu membuat kita tersambung dengan orang lain bukan?
Begitulah penjelasan Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal tentang salah satu sanksi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yang hari ini diteken oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Setelah membaca berita itu, saya jadi teringat lagi perdebatan lama mengenai keselamatan penerbangan dan penggunaan handphone di dalam pesawat. Benarkah sinyal handphone mengganggu sistem navigasi? Benarkah gelombang radio yang dipancarkan telepon genggam akan membuat pesawat jatuh?
Terus terang saya ndak punya jawaban sahih atas pertanyaan itu. Saya belum pernah membaca satu kesimpulan final mengenai perdebatan itu.
Memang ada beberapa kalangan yang berteori, ada juga yang pernah mencoba membuktikannya. Bahkan sempat beredar email berantai yang menyodorkan data dari Aviation Safety Reporting System mengenai bahaya pemakaian HP di pesawat. Tapi tak ada satu pun yang tak menyisakan tanda tanya.
National Geographic Channel memang pernah menayangkan simulasi penggunaan handphone di pesawat, dan baik-baik saja. Artinya, pesawat tak jatuh. Tapi, seorang pilot penguji NASA mengatakan, masalah baru timbul jika semua penumpang menyalakan telepon genggamnya.
Apa boleh buat, sampai sekarang saya masih berada di ambang batas antara percaya dan tidak. Saya bukan ilmuwan atau pakar ini dan itu. Barangkali seorang pakar telematika yang masyhur itu bisa menjelaskannya lebih baik.
“Buat saya, ini bukan masalah teknologi dan keselamatan belaka, Mas. Ini juga soal kenyamanan dan etika,” kata Mister Koper — teman saya yang kerap bawa koper dan naik pesawat itu.
Dia ikut melempar pendapat setelah kami membicarakan berita tentang undang-undang baru itu.
“Maksud anda?” saya bertanya.
“Lah penumpang pesawat yang masih cas-cis-cus di kabin itu kan mengganggu kenikmatan saya duduk selama penerbangan. Menyebalkan sekali kalau ada orang yang duduk di sebelah dan berisik, nyerocos ndak keruan dengan orang lain.
Berarti dia lebih suka mengajak ngobrol kotak kecil ketimbang dengan saya. Itu sama saja dengan menganggap saya tidak ada. Berarti dia menilai saya bukan orang yang layak diajak ngobrol, bertukar kata dan pikiran. Jelas saya merasa tak dihargai dan dilecehkan. Ini ndak etis, Mas,” kata Mister Koper teman saya itu.
Saya manggut-manggut mencoba memahami kekesalan hatinya. Saya sendiri memang belum pernah menyalakan HP sewaktu di dalam pesawat.
Selain ndak merasa ada gunanya, saya perlu sesekali mengambil jarak dengan alat itu. Ada kalanya kita tak usah mendengar ia berdering, mengabarkan kedatangan sebuah pesan pendek atau panggilan dari kawan, kerabat, atau pacar yang merindukan kabar kita sesaat sebelum pesawat lepas landas. Toh hidup jalan terus tanpa handphone yang selalu membuat kita tersambung dengan orang lain bukan?