Rafa...
Saya sedikit mengambil kesimpulan bahwa Nurani sangat dipengaruhi oleh lingkungan!
Bisa jadi orang yg berada dalam lingkungan pencopet, misalnya, akan mempunyai nurani yg berbeda dengan orang yg berada dalam lingkungan keraton, religius atau yg lainnya.
Bukankah demikian?
Betul, karena suara hati juga merupakan hasil bentukan lingkungan selain juga apa yang sudah dituliskan oleh Allah dalam hati manusia (Roma 2:15). Semua yang dari luar, apakah itu bisikan Allah, malaikat, masyarakat, teman etc, adalah masukan untuk suara hati. Semua itu tentunya bukan suara hati sendiri tapi semua itu membantu membentuk suara hati dengan memberi masukan-masukan bagi suara hati untuk memutuskan sesuatu. Dan yang menjembatani bagaimana seseorang memiliki frame of reference /
knowledge untuk menyatakan suatu itu BAIK atau SALAH dari apa yang ia rangkum dalam lingkungannya (aturan, adat, norma, dll) sehingga membentuk Super Ego adalah fungsi Ratio dan Intelegensia (Freud mengistilahkan dengan EGO). Hal ini diperkuat dengan pernyataan dari St. Thomas Aquinas yang menyatakan sebagai berikut:
"....For conscience, according to the very nature of the word, implies the relation of knowledge to something: for conscience may be resolved into "cum alio scientia," i.e. knowledge applied to an individual case."...Damascene De Fide Orth. iv. 22 says that it is the "law of our intellect."
CCC 1778 Hati nurani adalah keputusan akal budi, dimana manusia mengerti apakah satu perbuatan konkret yang ia rencanakan, sedang laksanakan, atau sudah laksanakan, baik atau buruk secara moral. Dalam segala sesuatu yang ia katakan atau lakukan, manusia berkewajiban mengikuti dengan saksama apa yang ia tahu, bahwa itu benar dan tepat. Oleh keputusan hati nurani manusia mendengar dan mengenal ketetapan ilahi.
Selama manusia tidak menggunakan ratio dan intelegensianya untuk bisa memilah informasi mana yang tepat untuk bisa lebih mempertajam dan mematangkan hati nurani, maka hati nurani akan bisa menjadi tumpul dan keliru. Seperti juga ada tertulis:
IV. Hati Nurani yang Keliru
1790 Manusia selalu harus mengikuti keputusan yang pasti dari hati nuraninya. Kalau ia dengan sengaja bertindak melawannya, ia menghukum dirinya sendiri. Tetapi dapat juga terjadi bahwa karena ketidaktahuan, hati nurani membuat keputusan yang keliru mengenai tindakan yang orang rencanakan atau sudah lakukan
1791 Seringkali manusia yang bersangkutan itu sendiri turut menyebabkan ketidaktahuan ini, karena ia "tidak peduli untuk mencari apa yang benar serta baik, dan karena kebiasaan berdosa hati nuraninya lambat laun hampir menjadi buta" (Gaudieum Et Spes 16). dalam hal ini ia bertanggungjawab atas yang jahat, yang ia lakukan.
1792 Ketidaktahuan mengenai Kristus dan injil-Nya, contoh hidup yang buruk dari orang lain, perbudakan oleh nafsu, tuntutan atas otonomi hati nurani yang disalahartikan, penolakan otoritas Gereja dan ajarannya, kurang rela untuk bertobat dan untuk hidup dalam cinta kasih Kristen, dapat merupakan alasan untuk membuat keputusan salah dalam tingkah laku moral.
1793 Sebaliknya, kalau ketidaktahuan itu tidak dapat diatasi atau kalau yang bersangkutan tidak bertanggungjawab atas keputusan yang salah, maka perbuatan yang buruk tidak dapat dibebankan kepadanya. Walaupun demikian, hal itu tetap tinggal sesuatu yang jahat, satu kekurangan, satu gangguan. Karena alasan ini, maka kita harus berikhtiar supaya menghilangkan kekeliruan hati nurani.
Oleh karenanya dalam konteks seorang anak kecil yang belum memiliki kematangan ratio pemikiran, pendidikan keluarga / lingkungan yang tepat sangatlah penting diajarkan kepada mereka.
Berarti kita membutuhkan suatu KEBENARAN DAN KEBAIKAN SEJATI yg berasal dari suatu yg adikodrati, begitukah?
Betul, karena untuk mencapai suatu KEBENARAN ABSOLUTE kita harus mengarahkannya pada suatu yang ADIKODRATI yaitu KEBENARAN DALAM JALAN ALLAH. Karena seperti yang sudah saya sebutkan di atas, kebenaran manusia yang ada di lingkungannya bisa juga salah bisa juga benar, dan untuk bisa memastikan kebenaran tsb kita harus berpatokan pada KEBENARAN ABSOLUTE.
APa bisa dikatakan bahwa Nurani tidak hanya berasal dari kecerdasan (intelektual) manusia yg dia peroleh dari suatu lingkungan dan orang2 yg bersifat kodrati tersebut, tetapi juga membutuhkan suatu spiritualitas yg bersifat adikodrati, yg akhirnya kita namakan "iman"?
Kembali betul Mr. Jebling, karena untuk bisa mendapatkan kemurnian hati nurani yang berasal dari Allah (ataupun juga yang berasal dari ekstrasi manusia sendiri terhadap HAL-HAL BAIK yang berasal dari lingkungannya, karena SEMUA HAL YANG BAIK BERASAL DARI ALLAH), maka manusia membutuhkan bimbingan dari Allah. St. Thomas Aquinas kembali menulis sebagai berikut:
St. Thomas (I-II:109:3) teaches that both for the knowledge of God and for the knowledge of moral duty, men such as we are would require some assistance from God to make their knowledge sufficiently extensive, clear, constant, effective, and relatively adequate; and especially to put it within reach of those who are much engrossed with the cares of material life. It would be absurd to suppose that in the order of nature God could be debarred from any revelation of Himself, and would leave Himself to be searched for quite irresponsively.
1794 Hati nurani yang baik dan muri diterangi oleh iman yang benar, karena cinta kasih Kristen timbul sekaligus "dari hati yang suci, dari hati yang murni dan dari iman yang tulus ikhlas" (1 Tim 1:5) [Bdk. 1 Tim 3:9; 1 Tim 1:3; 1 Pet 3:21; Kis 24:16].
"Oleh karena itu, semakin besar pengaruh hati nurani yang cermat, semakin jauh pula pribadi-pribadi maupun kelompok-kelompok menghindar dari kemauan yang membabi-buta, dan semakin mereka berusaha untuk mematuhi norma-norma kesusilaan yang obyektif" (Gaudium Et Spes 16).
Dan dari mana kita bisa mendapatkan bimbingan dari Allah tsb, tentu saja dari arahan Roh Kudus dan usaha manusia sendiri yang berusaha terus mengenal Allah Sejati. Dan dimana mencarinya sudah disampaikan oleh Allah sendiri secara gamblang dan sangat jelas
Ingat Allah dalam iman Katholik sangat berbeda sekali dengan Allah yang disampaikan lagu Bimbo...
"Aku jauh engkau jauh, aku dekat engkau dekat" Allah dalam iman Katholik disaat kita jauh Ia terus berusaha dekat dengan kita, dan saat kita dekat, maka Ia akan semakin dekat dengan kita
Semakin jelas dibutuhkan yg namanya "iman" untuk terus mengasah hati nurani.
Betul Bro....kudu butuh itu
Pertanyaan saya, bisakah iman yg salah menyebabkan juga hati nurani menjadi salah?
Tentu saja, seperti yang saya tuliskan di atas. Jika iman tsb salah maka tentu saja hal itu bukanlah iman sejati, namun iman yang menyesatkan!
Apakah yg kita butuhkan untuk "membetulkan" hati nurani yg salah?
Perlu kita ingat dan digaris bawahi pada prinsipnya manusia berkewajiban untuk mengikuti suara hati nuraninya (Katekismus 1790).
Kalau dilakukan dengan tulus, sekalipun salah,
maka kesalahan atau dosa itu tidak akan dibebankan kepada sang individu (Katekismus 1793). Namun bukan berati kita harus pasif saja, kita juga harus terus berusaha mengasah dan mempertajam suara hati. Setiap orang menilai baik dan buruknya suatu perbuatan melalui suara hatinya. Dan Allah telah menulis hukumnya dalam hati setiap orang (Rom 2:15). Salah satu alasan mengapa kita berkewajiban untuk mengikuti suara hati adalah karena bila kita melawan suara hati berarti kita melakukan dosa. Mengapa melawan suara hati, yang bisa salah, berarti kita melakukan dosa? Jawabannya adalah karena dengan melawan suara hati kita telah melakukan suatu tindakan yang kita tahu adalah salah. Karena itu hendaknya kita benar-benar tulus untuk mengikuti hati nurani DAN
dengan baik membentuk hati nurani.
Bagaimana caranya? Awalnya kita harus menganalisa dahulu mana yang salah dan mana yang benar. St. Ignatius dari Loyola mengatakan bahwa kita harus selalu dan sering-sering melakukan
examination of conscience. Ada 5 point yang diajarkan oleh beliau untuk melakukan analisa ini:
1. In the first point we thank God for the benefits received
2. We ask grace to know and correct our faults
3. We pass in review the successive hours of the day, noting what faults we have committed in deed, word, thought, or omission
4. We ask God's pardon
5. We purpose amendment.
Bagaimanakah kita "berani" mendasarkan keputusan kita kepada hati nurani, sedangkan nurani ternyata bisa salah?
Seperti yang aku tulis di atas sebelumnya, pertama
KITA JANGAN TAKUT DAN RAGU untuk mengikuti suara hati kita dahulu karena manusia berkewajiban untuk mengikuti suara hati nuraninya (Katekismus 1790).
Kalau dilakukan dengan tulus, sekalipun salah,
maka kesalahan atau dosa itu tidak akan dibebankan kepada sang individu (Katekismus 1793) kedua, walaupun bgt bukan berati kita pasif saja, kita perlu selalu mengasah ketajaman hati nurani kita, baik dengan memeriksa dan menganalisanya, mendalami KEBENARAN SEJATI, melatih ketajaman hati nurani dengan mengaplikasikannya dalam tindakan nyata sehingga menjadi habitus, dan SELALU mohon Rahmat dan Terang dari Allah Benar.
Salam
Rafa02