Memahami Bhinneka Tunggal dengan Jiwa Merdeka
Oleh Cok Sawitri
Proses untuk jujur dan berani hidup dengan memahami ketakutan-ketakutan yang menyertai kehidupan keseharian dalam proses pergaulan antar manusia dengan keragamannya, tidaklah dapat dilakukan tanpa memaksa diri pribadi masing-masing untuk terus menerus menyadari bahwa berpihak kepada kemanusiaan adalah kekuatan manusia untuk melanjutkan hidup.
Bahwa keragaman itu dan toleransi yang menjembatani hubungan-hubungan antar manusia, tidak bisa kini dilakukan sebatas toleransi formalitas
Toleransi formalitas adalah keadaan seolah-olah adanya toleransi dan penghormatan atas keragaman, namun jauh di dalam hati membiarkan ketakutan-ketakutan menjadi konsep berpikir dan pola bertutur di ruang- ruang pribadi, sebagai pengasuhan untuk mengingatkan akan adanya bahaya mengancam terhadap identitas pribadi, kelompok maupun wilayah oleh pihak lainnya.
Perbedaan adalah keniscayaan, sungguhlah mustahil untuk menghindarinya atau menghilangkannya dengan alasan apapun. Bahkan atas nama agama. Toleransi sejati hanya dapat terwujud apabila kesadaran meluaskan wawasan ke ruang-ruang yang menyekat, menjadikan sikap rendah hati sebagai tiangnya, agar berani untuk menghadapi bahwa hidup itu adalah keragaman, yang tak satu pun diantarannya atas nama keyakinan apapun dapat dijadikan alat untuk mengintimidasi pihak lain ataulah sebagai upaya mulai dalam rancang sistematik penyeragaman keyakinan.
Karena itu, belajar kepada sejarah spritual Bali, khususnya Gama Tirta, Hindu Bali yang berdasarkan paham Siwa Budha, dalam hal membangun toleransi sejati, tidaklah dimaksudkan bahwa ini yang terbaik dan sempurna. Namun sejenak merenungkan proses dari konsep berpikir dan pola bertutur yang jujur melalui hasil yang didapatkan sampai masa kini, bahwa ajaran ini sungguh-sungguh memberi contoh akan kemauan disertai tindakan nyata untuk penghormatan kepada keragaman manusia.
Sutasoma adalah itihasa dari paham siwa budha ini, selain ramayana dan mahabrata. Sutasoma memiliki sejarah yang panjang saat memasuki nusantara.
Bahkan tercatat di era Dalem Waturenggong + tahun 1472, saat itulah Danghyang Nirarta mengajarkan agama di Bali.
Beliau menasehatkan, "Apan tiwas juga sirang muni Budhha paksa. Yan tan wruhing para tatwa Ciwatwa marga. Mengkang munindra sangapaksa Ciwawatwa yoga. Yan tan wruh ing parama tattwa jinatwa manda," "Karena dipandang kurang sempurna juga bila seorang pendeta penganut Budhha, jika tidak tahu akan inti ajaran Ciwa.
Demikian pula para pendeta penganut Ciwa dipandang tidak sempurna, jika tidak tahu inti ajaran Budhha, "Dalam ajaran Ciwa, huruf sucinya adalah Ongkara, dalam ajaran Budha huruf sucinya adalah Hrih.
Dalam bahasa langitnya, zat itu itu dua senyawa, yaitu purusa dan pradana, dalam ajaran Siwa itulah Rwabhineda, yakni Siwa dan Uma, sedangkan dalam ajaran Budha dinamai adwaya-adwayajnyana, atau Adwaya-Prajnyamita.
Rwabhineda inilah juga disebut sebagai Arddhanarecwari, atau dalam Budha disebut Adwaya-Pranyamita. Apabila itu dipahami sebagai tiga segi dikenal sebagai Tri Murti, Tri purusa atau tyrnuka : upati, stiti dan pralima (tri kona). Dalam ajaran Siwa, Brahma, Wisnu dan Ciwa, yang menguasai tri bhuwana: bayu, Cabda dan Idhep, dst.
Dari itihasa sutasoma, yang populer hanyalah kata Bhineka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa.
Namun hampir luluh, tidaklah dijelaskan asal kalimat indah itu, bahwa itu bukanlah bahasa slogan yang muncul dengan spontan.
Namun kalimat itu adalah hasil dari proses toleransi sejati, dialog mendalam dan penuh keiklasan untuk menjaga hidup kemanusiaan. Kalimat itu adalah pengingat dan inspirasi untuk selalu mengutamakan penghormatan sungguh-sungguh kepada perbedaan, bukan basa-basi, bukan sebatas formalitas.
Bahwa kini Bali adalah benteng terakhir Indonesia untuk sikap toleransi sejati ini, karena di Bali yang masih melaksanakan ajaran Siwa Budha ini, yang diajarkan para leluhur orang Bali dengan visi, bahwa kelak nanti, di suatu masa (di masa kini), ketika politik identitas begitu menguatnya, bahwa kini adalah 'masa depan' yang dulu telah dibayangkan bahwa akan tiba masa dimana ketakutan-ketakutanlah yang dijadikan konsep berpikir berproses dalam kehidupan keseharian.
Dan mendorong lahirnya konsep berpikir untuk menemukan agama kembali, dan atas nama pemurnian, atas nama reformasi dan juga atas keyakinan sebagai jalan mulia, yang terjadi adalah betapa semangatnya untuk membangun tanda-tanda dan kecirian yang berjarak.
Bahwa tidaklah dapat dipungkiri, bahwa toleransi sejati tidaklah sebatas pencapaian duduk bersama, lalu bersikap seolah-olah telah dapat memahami satu sama lain. Jika tidak disertai oleh semangat kesadaran bahwa kerendahatian untuk belajar menghargai ajaran satu sama lain untuk dijalankan sebagai sikap nyata, adalah proses batin yang sungguh kaya.
Bahwa pengalaman Bali dengan ajaran Siwa-Budha-nya, tidaklah menghilangkan tradisi siwanya, juga tidak melenyapkan tradisi budhanya. Keduanya adalah agama-agama yang tetap dengan keotonomannya, namun dengan kerendahatian para leluhur nusantara mendialogkan sehingga mencapai taraf penghormatan yang tulus kepada keduabelah pihak, yang menjadi tindakan dalam proses hidup berbudaya. Hidup manusia dengan berpihak kepada kemanusiaannya
Kerisauan kita saat ini, tidaklah dapat dipungkiri diawali oleh kerisauan terhadap kenyataan bahwa moralitas dan nilai-nilai hidup yang kian hari kian merosot. Bahwa yang dirasakan seakan ada ancaman dan pertanda bahwajalan mulia itu adalah memurnikan kembali ajaran masing-masing, dan itu tidaklah salah.
Namun jika jalan mulia itu tidak disertai kesadaran bahwa pribadi lain, kelompok lain, wilayah lain pun ada dalam semangat perasaan yang demikian pula, untuk tujuan menyelamatkan kemanusiaan manusia pula. Maka yang hadir adalah tarikan kepentingan identitas, yang ingin menguasai pihak lain. Dan atas nama jalan mulia tidaklah akan terhindarkan akan terjadi jalan kekerasan atas nama ajaran mulia.
Belajar kepada susastra Sutasoma, belajar kepada jalan kemuliaan yang melahirkan ajaran toleransi sejati, bukanlah untuk mendorong semua pihak yang berbeda meninggalkan ajarannya masing-masing. Namun mendorong semua pihak untuk ke dalam pribadi membangun konsep berpikir dan pola bertutur yang berdasarkan kesejatian ajaran masing-masing, disertai pengetahuan sejarahdan tradisi yang menyertainya.
Sehingga tidaklah terjadi klaim mengklaim akan adanya satu ajaran memiliki paspor jalan tol menuju surga. Bahkan janganlah menjadikan diri atau kelompok sebagai penjaga moralitas. Terjebak dalam kesombongan seakan-akan urusan dunia akan dapat diselesaikan dengan mengamankan, menyortir dan memaksakan dalam absolut tafsiran.
Bahwa diri, kelompok ataupun organisasi yang menjadikan kecirian keyakinannya, sering lalai bahwa yang dijadikan perjuangan bukanlah spririt keyakinannnya yang sejuk dan kasih, namun sering terjadi adalah tafsir, aspirasi pribadi dan kelompoknya itu yang menjadi kemudi konsep berpikir dan pola tutumya.
Bali dalam sejarahnya, belajar sungguh-sungguh untuk menjadikan ajaran siwa-budha ini sebagai jalan mulia. Ajaran ini telah menjadi air yang mengalir tak putus-putus ke semua titik proses dinamika kebudayaan Bali, jugamenjadi tindakan sebagai wujud pertanggungjawabannya.
Konsep berpikir dan pola bertutur manusia disaat menghadapi kebuntuan dialog sangatlah menarik untuk dikaji. Dan Bali menemukan caranya yakni koh ngomong, aje wera, atau depang anake ngadanin, dst. Seolah-olah apa yang diucapkan itu ketika menghadapi kebuntuan dialog, tidak bermuara kepada kode dan simbol ajarannya.
Padahal, kode dan simbol ajaran itulah yang menjadi kemudinya, karena demikian jauh terdiferensiasi sehingga seringkali orang mengira ajaran Hindu Bali, tidak punya persyaratan sebagai agama sempuma, menurut definisi agama modern. Padahal, Siwa Budha memiliki kitab suci berdasarkan wahyu dan tafsir, begitupun Budha.
Lalu dengan kearifan mulia para agamawanlah, agama Siwa-Budha ini membumi, menjadi inspirasi yang sampai masuk ke wilayah-wilayah tindakan, sampai terkesan tak berhubungan lagi dengan akamya. Pencapaian kearifan ini, bukanlah proses sehari jadi, tidaklah juga karena semata-mata menanti datangnya kesadaran. Namun melalui proses dialog mendalam dan dengan didukung oleh kebijakan politik yang mendorong, agama sejatinya adalah menyelamatkan kemanusiaan manusiannya.
Karena itu, di tahun ini kembali dengan indah, sutasoma kita buka, untuk menggugah diri, terbuka kepada inspirasi yang telah diberikannya, yakni mendorong kita semua untuk ada dalam semangat pluralisme, dengan toleransi sejati. Bahwa tindakan yang utama adalah mendorong semua orang untuk belajar melawan ketakutan terhadap prasangka akibat meluasnya politik identitas di negeri ini, bahwa dengan jernih harus diketahui bahwa ajaran agama apapun adalah mulia, dan organisasi apapun itu adalah sesungguhnyalah menjalankan spirit keyakinannya, bukan aspirasi dan tafsir pribadi dan kelompoknya.
Bahwa terbukanya Bali untuk siapa saja, dan kemudian berbagai peristiwa yang melukai rasa aman orang Bali atas keyakinannnya, dengan jernih harus disadari bahwa tidaklah akan terhindari munculnya perasaan berlebihan untuk melawan ketakutannya dengan sikap yang keras pula. Ketakutan inilah yang takut dibicarakan dengan terbuka, dan akhimya ketakutan inilah yang kelak akan bicara dalam hubungan antar kemanusiaan kita.
Dilain pihak, tarikan kepentingan politik identitas sudah sampai pada titik, melupakan bahwa negeri ini bhineka tunggal ika. Bahwa Indonesia didirikan diatas keragaman. Bahwa para pendiri bangsa tahu persis, bahwa hutang terbesar Indonesiaini adalah kepada keragaman itu, yang tidak berhutang apapun kepada Indonesia, namun dengan sadar membangun sebuah negara untuk tujuan keadilan dan kemakmuran bersama.
Karena itu, persaudaraan sebagai manusia dengan tujuan menjaga kemanusiaannya yang seharusnya diutamakan. Bahwa kerendahatian untuk tidak terjebak membawa risau pribadi dalam perbaikan moral dan nilai-nilai itu, janganlah dibawa ke dalam semangat meminta risau itu diselesaikan dalam bentuk solidaritas massa. Apalagi dalam bahasa karena 'kita seumat'.
Dan reformasi Hindu yang selama ini katanya telah dilakukan, baik melalui jalan media, organisasi dan kebijakan. Belumlah memberi penjelasan mengenai Siwa-Budha dengan memadai dan tradisi yang menyertainya.
Ajaran Ciwa yang datang ke Indonesia diperkirakan datang dari Bengal, sama seperti Budha tantra. Ini berdasarkan prasasti berbentuk logam-logam tipis Bhagapur dari raja Narayanapala berangka tahun 854-908 setelah masehi. Ciwait di Bengal yang berkembang saat itu sampai sekarang termasuk dalam mazab Pasupata yang didirikan oleh Srikanthanatha, penulis Pingalamata dan Lakulisa, nama ini diperkirakan muridnya.
Dalam prasasti di Jawa nama-nama murid Srikanthanata ini dalam formula sumpah prasasti-prasati Jawa diberi kode nama Patanjali.Karena itu sejak Pancakusika, para murid Srikanthanatha membuat catatan pada lempengan tembaga kanca, 860 setelah masehi, inilah yang kemudian memasuki Jawa, disebutkan sebagai sektarian Ciwaisme India pertama yang memasuki Nusantara, namun Kern punya pendapat bahwa pejalan-pejalan China telah menemukan kaum brahmana tersebut dalam abad ke-5. Sedang Budhis memiliki riwayatnya memasuki Nusantara via Sumatra, bahkan pada abad ke- 7 telah mengembangkan seperangkat kesusastraan dan model sadhana.
Kemudian pada abad 8 dan 9 Masehi telah berkembang Tantrisme Ciwa dan Budha walaupun saat itu simbol-simbol yang diangkat masih berbeda-beda. Namun elemen-elemen mistik Tantrisme Budhaa, seperti Wajrayana, Sahajayana dan kalacakrayana berdasarkan filosofisnya diberikan oleh Yogacara dan sistem filsafatnya madyamika, inilah yang berproses secara generik dengan sebutan Mantrayana.
Dengan mode sadhana yang rumit, baik Ciwa dan Budha memberikan tanda peninggalannya, yakni jika filosofi Wajradhara nampak pada Borobodur, maka Pasupata nampak pada Candi Ptambanan. Dari sini mulai populer sebutan Ciwa Siddhanta, yang dapat dilacak setidaknya ke pertengah abad sembilan. Namun jika kesusatraan Tantra Ciwa Jawa yang ada sekarang digunakan sebagai panduan, paham Siddhanta adalah bermuara pada Jawatimur.
Ide-ide Ciwa-Budha ini dapat juga disusuri ke wilayah Bengal, namun baru setibanya di Jawa dan Bali dapat menjadi realitas. Spirit toleransi ini secara meluas dicerminkan dalam kesusatraan dan prasasti-prasati Jawa Kuno.
Mengapa perlu memahami sejarah Ciwa dan Budha ini, dalam konteks membicarakan Siwa Budha. Karena misalnya, ada kesan bahwa pemeluk Hindu Bali sekarang perlu dicerahkan dan diluruskan, lalu direformasi kehinduannya. Padahal, ajaran Siwa-Budha ini memiliki kelengkapan dan bukti tindakan spiritual dan nyata menguatkan kemanusiaan manusia. (bahan diskusi di Kelompok Tulus Ngayah, Desember 2005)
*** TokohIndonesia DotCom